Aroma laut menyambut sepanjang perjalanan saya menuju Bulukumba Sulawesi Selatan, dengan menggunakan kendaraan travel rasa VIP karena hanya berisi 4 orang penumpang, dengan 2 orang lainnya adalah pegawai travel itu sendiri. Biaya seratus ribu terasa murah untuk perjalanan yang membutuhkan waktu 5-6 jam perjalanan dari Kota Makassar dan tentunya fasilitas travel yang sangat nyaman.
Baca : Asyknya Menyelam di Perairan Pulau Cinta (Island of Love)
Lelah badan dan rasa kantuk yang menyergap tubuh, setelah semalaman begadang menunggu pagi di Bandara, tak kuasa saya tahan namun panorama laut dan rumah-rumah adat yang dijumpai di perjalanan lintas selatan Sulawesi ini, sangat sayang untuk dilewatkan. Petualangan menyusuri Sulawesi sudah lama saya impikan meskipun berbeda lokasi namun setidaknya masih di tanah Sulawesi, semoga suatu saat bisa kembali lagi.
Manis Pahit Petani Garam Jeneponto
Memasuki wilayah Jeneponto, saya merasakan suasana seakan di Madura, sepanjang bibir pantai banyak petani garam sedang menggarap tambaknya agar menghasilkan garam. Kita tahu garis pantai yang panjang, merupakan lahan potensial bagi Indonesia menjadi negara penghasil garam terbesar, namun faktanya kita tak berdaya di negeri sendiri.

Panorama petani garam di bibir pantai sebetulnya sangat menarik, maksud hati ingin melihat lebih dekat namun apalah daya karena mobil travel yang saya tumpangi ini juga mengejar waktu agar sesuai jadwal, akhirnya hanya bisa melihat dari dalam jendela seperti, petani garam yang hanya bisa menatap hasil garamnya yang semakin berkurang produksinya.
Baca : Kidung kangen taman laut Kangean Madura
Sebetulnya apa sih guna garam laut itu ? garam bukan hanya sebagai pelengkap dalam memasak, dalam sejarah panjangnya komoditi garam juga mewarnai percaturan dunia, bahkan bisa menjadi sumbu konflik perang besar-besaran, ini menunjukan betapa garam itu merupakan komoditi berharga bagi umat manusia.
Angkutan (Pethe-pethe) Rasa Travel
Menjelang siang hari travel yang saya tumpangi memasuki Kota Bulukumba, nampak dari kejauhan sebuah gunung menjulang, yang saya kira itu adalah “Moncong Lompobatang” ternyata itu adalah Gunung Donggia yang masih terletak di Bulukumba dan gunung ini juga menjadi favorite wisata pendakian di daerah Bulukumba.

Kota Bulukumba kata itu sebetulnya tidak asing di telinga saya, namun entah kenapa saat itu saya tidak mengingat ada apa dengan Bulukumba, yang saya pikirkan saat itu adalah bagaiamana perjalanan selanjutnya dari Bulukumba menuju tujuan perjalanan jauh ini ” Tanjung Bira” secara liihat dipeta masih sekitar 40- 50 km perjalanan lagi.
Hingga akhirnya menjelang shelter terakhir dari travel yang saya naiki, sang sopir menawarkan untuk mengantarkan sampai lokasi dimana saya bisa menungggu kendaraan yang banyak menuju Tanjung Bira. Alhamdulillah ternyata lokasi dimana saya harus menunggu dekat masjid, jadilah saat itu saya tidak meninggalkan sholat Jumat.
Selepas sholat Jumat, akhirnya menunggu ‘Pethe-pethe” angkutan kota ala Sulawesi bareng penduduk lokal yang ternyata juga menunggu untuk ke Tanjung Bira, cerita akhirnya dapatlah angkutan tersebut dan yang unik angkutan ini rasa travel karena mengantar dari pintu ke pintu penumpang dan barang dagangan penumpangnya.

Namun ada pengalaman yang ga enak dengan angkutan yang saya tumpangi, bisa jadi karena tahu saya turis (anggep aja turislah) ya meskipun cuma turis ngapak, si sopirnya minta tambahan ongkos lebih untuk jarak yag tinggal 2km nambahnya 2x lipat ongkos. Ini kalau saya datang sendiri mah mendingan turun dan jalan kaki, tapi ya sudahlah daripada hilang moodnya buat menikmati Tanjung Bira, anggap aja sedekah dihari Jumat.
Keindahan Pantai Bara Tanjung Bira
Pada saat kita berkunjung ke lokasi wisata dengan pemilik resortnya orang Indonesia maka seringkali kita lhat kondisi yang apa adanya, bahkan ada pandangan orang Indonesia bisa bangun resort bagus tapi tidak bisa merawatnya berbeda halnya jika pemilik resot itu adalah orang asing maka kondisinya sungguh sangat terawat. Seperti juga di Tanjung Bira, sama sama mempunyai acces menghadap ke laut tapi resort orang asing lebih laris recommend ketimbang resot lokal.

Memasuki lokasi cottage yang sudah dipesan sebelumnya, perasaan pertama yang timbul adalah hilangnya kekesalan karena “ditembak” ongkos sama sopir, dengan panorama dan penampilan cosmos bungalow serta pemandangan pantai yang amazing, rasa lelah, kesal semua hilang berganti rasa takjub. Dan dalam hati timbul satu hal perasaan penyesalan yang timbul, “kenapa cuma pesan semalam saja di cottage ini“. padahal mah nginjekin kaki di cottage belum ada lima menit udah nyesel duluan, bakalan cepat beranjak dari lokasi yang sangat indah.
Baca : Mentari Tenggelam di Jembatan Cinta Pulau Tidung
Sambutan ramah dan terasa kekeluargaan juga saya rasakan dengan pengelola cottage, bahkan sempat terpikir mereka orang jawa karena saat berbicara ada logat=logat Jawa, ahh ternyata mereka hanya pernah tingggal di Jawa, tapi tak mengapalah meskipun mereka orang lokal Bira, keramahan terlebih mereka mau menggunakan logat Jawa sudah menunjukan keramahan mereka pada tamu yang berkunjung, dan hal yang jarang saya lihat adalah sosialisasi pengelola dengan para tamu yang terlihat akrab, sehingga suasana lebih kekeluaragaan.

Dari atas cottage yang langsung menghadap lautan lepas, hal pertama yang saya lihat adalah keindahan dan rasa penyesalan, karena esok hari adalah perpisahan disaat baru merasakan kenyamanan, pergi meninggalkan keindahan dan kehangatan dalam kebersamaan …… ahhhh sudah terlalu lama dan panjang cerita ini semoga ada hari lain bagi saya untuk kembali bisa menyambung cerita cerita indah perjalanan ini.

Tinggalkan Balasan